MAKALAH TOKSIKOLOGI PAKAN
“AFLATOKSIN DAN ZEAROLENON DALAM
PAKAN TERNAK DI INDONESIA : PERSYARATAN KADAR DAN PENGEMBANGAN TEKNIK
DETEKSINYA”
Oleh :
Kelompok I
1.
Yani Andriaati 1310611186
2.
Arianto Aswin 1310611111
3.
Regi Aris 1310612058
4.
Lestari Refis T 1310611180
5.
Nailurrahmi 1310611038
6.
Danil Saputra 1310611164
7.
M. Jaelani Maesa 1310611068
8.
Risky Deswandi 1310612010
9.
M. Naufal Rovian 1310612102
10.
Wahyu Aandriko 1310611072
Dosen :Dr.Ir. Yuliaty Shafan Nur,
MS
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS ANDALAS
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan
kepada Tuhan Yang Maha Esa karena kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Aflatoksin dan Zearolenon dalam Pakan Ternak di Indonesia:Persyaratan Kadar
dan Pengembangan Teknik Deteksinya” ini dengan lancar. Dalam penulisan makalah ini, kami mendapatkan banyak
bantuan dari berbagai pihak.
Oleh sebab itu, kami mengucapkan
terimakasih kepada dosen pembimbing
selaku dosen untuk matakuliah toksikologi
pakan, teman-teman, dan kedua orang tua yang telah memberikan dukungan, baik
moral maupun materi.
Kami menyadari bahwa makalah yang dibuat ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun selalu kami harapkan agar kami dapat memperbaiki untuk kesempatan
berikutnya. Akhir kata, semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca
sekalian.
Padang, 5 April 2016
Kelompok II
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang................................................................................................ 3
1.2.
Rumusan Masalah........................................................................................... 4
1.3.
Tujuan.............................................................................................................. 4
BAB
II PEMBAHASAN
2.1
Aflatoksin......................................................................................................... 5
2.1.1
Cemaran Aflatoksin pada jagung.................................................................. 9
2.1.2
Persyaratan Kadar Aflatoksin..................................................................... 11
2.2
Zearolenon...................................................................................................... 13
2.2.1
Penyakit yang Disebabkan oleh
Zearolenon…………………………….…15
2.2.2 Aktivitas
Biologi Zearolenon……………………………………………...16
2.2.3
Aktivitas Biologik Lainnya………………………………………………..16
2.3. Teknik
Deteksi Senyawa Aflatoksin………………………………………………….17
BAB
III PENUTUP
3.1.
Kesimpulan.................................................................................................... 22
3.2.
Saran.............................................................................................................. 22
DAFTAR
PUSTAKA.......................................................................................... 23
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kontaminasi mikotoksin pada bahan
pangan atau pakan sangat sulit dihindari karena kondisi iklim Indonesia yang
sangat mendukung pertumbuhan kapang. Kerugian akibat
pencemaran kapang, aflatoksin, dan zearolenon merupakan masalah di bidang
peternakan, karena dapat mempengaruhi produktivitas ternak. Kapang dapat
menyebabkan kerusakan fisik dan kimiawi pakan. Kerusakan fisik terjadi oleh
peningkatan pertumbuhan dan populasi kapang sehingga warna, bentuk, dan bahan pakan
tersebut berubah, sedangkan kerusakan kimiawi terjadi oleh adanya produksi
aflatoksin dari kapang tersebut, sehingga pakan tercemar aflatoksin.
Masalah yang cukup
berat akibat dari pencemaran aflatoksin dan zearolenon pada pakan akan
berlanjut dengan timbulnya gangguan keracunan bagi ternak yang mengkonsumsi
pakan tercemar tersebut. Data FAO menyatakan bahwa 25% suplai biji-bijian di
dunia terkontaminasi oleh kapang dan mikotoksin. Di negara Asia Tenggara
malahan ditemukan sebanyak kira-kira 50% jagung dan 90% pakan ternak unggas
terkontaminasi mikotoksin, yang merupakan sumber kerugian ekonomi utama pada
industri peternakan di negara-negara tropis ini (Liu, 2002). Hasil studi di
tiga negara ASEAN melaporkan bahwa sebesar 400 juta dollar kerugian setiap
tahunnya terjadi akibat menurunnya produktivitas ternak (Zanneli, 2000) .
Untuk menjaga agar
kadar aflatoksin pada pakan dan pangan tetap dalam batas-batas yang masih dapat
ditolerir dan tidak membahayakan ternak dan manusia, beberapa negara termasuk
Indonesia telah menetapkan batas maksimum kadar aflatoksin pada pakan dan pangan
. Metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dianggap dapat dilakukan
lebih mudah dan cepat serta cukup sensitif. Kegiatan pengembangan kit ELISA
aflatoksin B, telah dilakukan oleh Balitvet, dan telah dapat dirakit kit ELISA
aflatoksin B, untuk analisis kandungan aflatoksin pada sampel pakan dan jagung
.
1.2.
Rumusan Masalah
1.Apa itu aflatoksin ?
2.Berapa kadar aflatoksin yang
masih dapat ditolerir dan tidak membahayakan ternak ?
3.Bagaimana dampak kelebihan aflatoksin yang
ditimbulkan pada ternak?
4. Apa dan bagaimana pengembangan teknik deteksi aflatoksin tersebut?
5.Apa itu zearolenon ?
6.Bagaimana dampak yang ditimbulkan pada
ternak yang mengkonsumsi zearolenon?
1.3.
Tujuan
1.Untuk mengetahui apa itu
aflatoksin.
2.Untuk mengetahui berapa kadar aflatoksin yang
masih dapat ditolerir dan tidak membahayakan ternak.
3.Untuk mengetahui bagaimana
dampak kelebihan aflatoksin yang
ditimbulkan pada ternak.
4.Untuk mengetahui apa dan bagaimana
pengembangan teknik deteksi aflatoksin.
5.Untuk mengetahui apa itu
zearolenon.
6.Untuk mengetahui bagaimana dampak yang
ditimbulkan pada ternak yang mengkonsumsi zearolenon.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Aflatoksin
Aflatoksin adalah suatu
mikotoksin yang merupakan metabolit hasil jamur Aspergillus flavus dan A.
parasiticus. Aflatoksin merupakan kontaminan yang paling
sering dijumpai pada hasil panen
pertanian serta bahan makanan pokok di banyak negara berkembang sehingga mengancam
keamanan pangan. Toksin yang dikeluarkan oleh jamur ini dapat dijumpai selama masa produksi bahan pangan, pada waktu panen,
pada saat penyimpanan dan proses pembuatan makanan. Kondisi lingkungan yang diperlukan untuk
terbentuknya aflatoksin oleh kapang adalah kelembaban minimum 85 persen dan
suhu optimum 25-27°C. A. flavus umumnya memproduksi aflatoksin B (AFB, dan AFBZ
), sedangkan A. parasiticus dapat memproduksi aflatoksin B dan aflatoksin G
(AFG). A. flavus terdapat di mana-mana, sedangkan A. parasiticus tidak. Saat
ini ada 4 macam aflatoksin yaitu AFB1, AFB2 , AFG1, dan AFG2 yang merupakan
aflatoksin induk yang telah dikenal secara alami dan dijumpai di alam. AFB1 adalah
jenis aflatoksin yang paling toksik di
banding AFB2 , AFG1, dan AFG2, mempunyai daya racun yang rendah, hanya
1/60-1/100 kali dibandingkan AFB1, dan tidak terlalu berbahaya.
Gambar
1. struktur kimia AFB1, AFB2 , AFG1, dan AFG2
Kapang tersebut banyak mencemari produk pertanian, diantaranya adalah
kacang-kacangan, beras, jagung, gandum, biji kapas dan biji-bijian lainnya (Diener
dan Davis, 1969). Tercemarnya pakan ternak oleh kapang dan aflatoksin juga
dilaporkan dapat mengganggu fungsi metabolisme, absorpsi lemak, penyerapan
unsur mineral, khususnya tembaga (Cu), besi (Fe), kalsium (Ca), dan fosfor (P),
serta beta-karoten, penurunan kekebalan tubuh, kegagalan program vaksinasi,
kerusakan kromosom, perdarahan, dan memar. Semua gangguan tersebut berakibat
pertumbuhan terhambat dan kematian meningkat sehingga produksi ternak menurun (Jassar
dan Balwant Singh, 1989 ; Abdelhamid dan Dorra, 1990; Dimri et al., 1994 ; Mani et al., 2001 ; Prabaharan et
al., 1999)
Aflatoksin
mempunyai sifat karsinogenik dan hepatotoksik. Sifat ini tergantung pada lama
dan tingkat paparan terhadap aflatoksin. Konsumsi aflatoksin dosis tinggi dapat
menyebabkan terjadinya aflatoksikosis akut yang dapat menimbulkan manifestasi hepatoksisitas
atau pada kasus-kasus berat dapat terjadi kematian akibat fulminat liver
failure (Banet dalam Yenny, 2006). Manusia dapat terpapar oleh
aflatoksin dengan mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi oleh toksin
hasil dari pertumbuhan jamur ini. Kadang paparan sulit dihindari karena
pertumbuhan jamur di dalam makanan sulit untuk dicegah.
Di
Indonesia, aflatoksin merupakan mikotoksin yang sering ditemukan pada
produk-produk pertanian dan hasil olahan (Muhilal dan Karyadi, 1985, Agus et
al., 1999). Selain itu, residu aflatoksin dan metabolitnya juga
ditemukan pada produk peternakan seperti susu (Bahri et al., 1995),
telur (Maryam et al., 1994), dan daging ayam (Maryam, 1996).
Sudjadi et al (1999) melaporkan bahwa 80 diantara 81 orang
pasien (66 orang pria dan 15 orang wanita) menderita kanker hati karena
mengkonsumsi oncom, tempe, kacang goring, bumbu kacang, kecap dan ikan
asin. AFB1, AFG1,
dan AFM1 terdeteksi pada contoh liver dari 58% pasien tersebut
dengan konsentrasi diatas 400 µg/kg.
Aflatoksin
juga dapat dijumpai pada susu
yang dihasilkan hewan ternak yang
memakan produk yang terinfestasi kapang
tersebut. Obat juga dapat
mengandung aflatoksin bila terinfestasi kapang ini. Praktis semua produk
pertanian dapat mengandung aflatoksin meskipun biasanya masih pada kadar
toleransi. Daerah tropis merupakan tempat berkembang biak paling
ideal. Toksin ini memiliki paling tidak 13 varian, yang terpenting adalah
B1, B2, G1, G2, M1, dan
M2.
Aflatoksin
B1 dihasilkan oleh kedua spesies, sementara G1 dan
G2 hanya dihasilkan oleh A. parasiticus. Aflatoksin M1, dan M2 ditemukan
pada susu sapi dan merupakan epoksida yang menjadi senyawa antara Jenis alfatoksin berdasarkan
penampakan fluoresensinya pada lempeng kromatografi lapis tipis di bawah sinar
UV yang memberikan warna biru (blue) untuk B dan warna hijau (green)
untuk G.
Aflatoksin B1, senyawa yang paling toksik,berpotensi
merangsang kanker, terutama kanker hati. Serangan toksin yang paling ringan adalah lecet
(iritasi) ringan akibat kematian jaringan (nekrosis). Pemaparan pada kadar tinggi dapat menyebabkan sirosis, karsinoma pada hati, serta gangguan pencernaan, penyerapan bahan makanan, dan metabolisme nutrien.
Toksin ini di hati akan direaksi
menjadi epoksida yang sangat reaktif terhadap senyawa-senyawa di
dalam sel. Efek
karsinogenik terjadi karena basa N guanin pada DNA akan diikat dan mengganggu kerja gen. Pemanasan hingga 250 derajat Celsius tidak efektif menginaktifkan senyawa ini. Akibatnya
bahan pangan yang terkontaminasi biasanya tidak dapat dikonsumsi lagi.
Aflatoksin merupakan mikotoksin utama yang
secara alami tersebar luas dan dapat mengkontaminasi produk-produk pertanian
dan pakan ternak. Senyawa aflatoksin ini diketahui dapat menurunkan
produktivitas unggas, bahkan dapat menekan daya kekebalan tubuh ayam (efek
immunosupressif). Azam dan Gabal (1998) telah membuktikan bahwa pemberian 200
ppb aflatoksin B1 pada ayam petelur dapat menurunkan produksi telur, berat
telur, serta menurunkan titer antibodi terhadap ND, IB dan IBD. Selain itu
aflatoksin diketahui sebagai penyebab kegagalan vaksinasi dan dapat menimbulkan
efek penyakit gumboro (IBD) lebih ganas (Chang dan Hamilton, 1981).
Empat
macam aflatoksin alamiah yang paling sering dijumpai dan bersifat toksik yaitu
aflatoksin B1, B2, G1, G2. Aflatoksin mempunyai kurang lebih 20 macam derivat,
akan tetapi yang paling toksik adalah aflatoksin B1. Aflatoksin B1 dan B2 dapat
menghasilkan metabolit aflatoksin M1 dan M2 melalui hidroksilasi, dimana
keduanya dihasilkan jika sapi atau hewan ruminansia lainnya memakan pakan yang
terkontaminasi oleh aflatoksin B1 atau B2. Aflatoksin M1 dan M2 ini kemudian
akan diekskresikan melalui susu yang dihasilkan sapi tersebut dan bisa saja
mengkontaminasi produk dari susu seperti keju dan yogurt.
Aflatoksin
sering terdapat pada jagung dan produk olahannya; kacang dan produk olahannya;
biji kapas, susu, dan tree nuts seperti kacang brasil, kacang pistachio dan
walnut. Selain itu juga terdapat pada sereal dan produk sereal seperti
pasta, dan mi instan. Pada sejumlah spesies hewan, senyawa ini menyebabkan
nekrosis, sirosis dan karsinoma organ hati dilaporkan tidak ada hewan yang resisten
terhadap efek toksik akut dari aflatoksin. Aflatoksin B1 merupakan karsinogen
paling potensial (termasuk kelompok 1A) pada banyak spesies termasuk primata,
burung, ikan, dan rodensia. Dalam dosis yang tinggi aflatoksin dapat
menyebabkan efek akut. Aflatoksin juga dapat terakumulasi di otak dan mempunyai
efek buruk terhadap paru-paru, miokardium dan ginjal. Efek kronik pada
manusia yaitu kanker hati, hepatitis kronik, hepatomegaly, penyakit
kuning dan sirosis hati akibat mengkonsumsi pangan yang terkontaminasi
aflatoksin pada konsentrasi rendah secara terus menerus.
Gambar 2. Aspergillus Flavus
Gambar
3. Aspergillus Parasiticus
2.1.1.
Cemaran Aflatoksin pada Kacang- Kacangan
Komposisi jagung pada
pakan ternak mencapai 60%. Oleh karena itu, penggunaan jagung yang berkualitas baik sangat penting untuk menghasilkan
pakan yang bermutu baik. Masalah yang sering timbul dalam pemanfaatan
jagung sebagai bahan pangan maupun pakan adalah kontaminasi senyawa aflatoksin.
Senyawa ini dihasilkan oleh kapang Aspergilus flavus
yang umumnya tumbuh pada jagung yang berkadar air tinggi (>15%) akibat cara
penyimpanan yang kurang benar (Rachmawati, 2005). Aspergillus flavus adalah
kapang dominan yang ditemukan pada sampel jagung, dan
merupakan penyebab utama kerusakan pada jagung baik prapanen ataupun
pascapanen. Mikroorganisme ini biasanya ditemukan pada saat musim kering atau musim
kemarau. Konsentrasi aflatoksin tidak akan berkurang selama
penyimpanan, bahkan akan bertambah atau tetap (Mulyawanti dkk., 2006).
Di
Indonesia kadar Aflatoksin maksimum pada jagung sebagai bahan pangan telah
ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan RI sebesar 20 ppb. Hal ini
sesuai dengan ketetapan Food and Drug Administration yang mengeluarkan kadar
baku tertinggi total aflatoksin yang diizinkan pada pangan dan pakan komersial
yaitu sebesar 20 ppb (Brown dalam Kusumaningrum dkk., 2010).
Hasil penelitian Kusumaningrum
dkk. (2010) mendapatkan bahwa sekitar 88% sampel jagung ditemukan
kapang dan sekitar 40% positif tercemar A.flavus. Jenis Pangan yang paling sering ditemukan kontaminasi A.flavus adalah jagung pipil yaitu sekitar 58,6%. Sedangkan pada produk
setengah jadi (tepung/pati/beras jagung) cemaran A.flavus yang ditemukan adalah 30 %dan pada jagung manis 7%.
Gambar 4.
Jagung dan kacang tanah yang tercemar Aspergillus
Hasil penelitian Rahayu dkk.
(2003) mengenai cemaran Aflatoksin pada produksi Jagung di daerah Jawa Timur diperoleh
data Uji aflatoksin pada 70 sampel jagung yang diambil di tingkat petani
menunjukkan bahwa 30% jumlah sampel tidak terdeteksi aflatoksinnya 50% dengan
cemaran aflatoksinnya < 20 ppb, 11% dengan 20 – 100 ppb, dan 9%
dengan cemaran >100 ppb. Cemaran tertinggi pada tingkat petani
adalah 353 ppb. Dari 45 sampel jagung yang diambil dari pengumpul dan
pedagang, 13% kandungan aflatoksinnya tidak terdeteksi, 29% dengan konsentrasi
< 20 ppb, 40% berkisar antara 20– 100
ppb, sedang 18% memiliki cemaran> 100 ppb. Cemaran tertinggi adalah
340 ppb.
Aflatoksin dapat
mencemari bahan pangan dari jenis kacang-kacangan seperti kacang tanah, kacang kedelai dan kacang hijau. Bahan pangan atau pakan yang paling rentan terhadap aflatoksin adalah
kacang tanah. Berbagai penelitian mengenai kandungan aflatoksin pada kacang
tanah dalam bentuk biji utuh, minyak goreng maupun makanan yang menggunakan bumbu telah
dilakukan. Tingkat cemaran tersebut beragam mulai dari angka yang paling rendah di bawah
ambang batas toleran, hingga kandungan yang sangat tinggi, tergantung dari
lokasi, jenis produk dan tingkat penanganan atau pengolahan produk kacang tanah
tersebut. Suhu tanah optimum untuk perkembangan Aspergillus flavus
berkisar 25,70 °C – 31,30 °C. Di Indonesia, kacang tanah biasanya ditanam pada
lahan kering di musim kemarau sehingga akan mengalami cekaman kekeringan
sekaligus suhu, oleh sebab itu peluang untuk terkontaminasi Aspergillus
flavus cukup besar.
Hasil studi makanan
jalanan di Bogor, Jakarta, Krawang (Rengasdengklok), Sukabumi (Cibadak) dan Rangkas
bitung terhadap makanan yang mengandung kacang tanah
(sebagai bumbu) memperlihatkan bahwa 22 dari 129 contoh makanan mengandung 3,0
– 60 ppb aflatoksin B1 dan 1,3 – 30,0 ppb aflatoksin B2. Jenis makanan jalanan
yang dianalisa tersebut adalah gado-gado, kacang goreng, karedok, ketoprak,
ketupat tahu dan lontong pecel.
Hasil studi pada
bungkil kacang tanah menunjukkan bahwa mengandung 126 ppb aflatoksin B1 dan 174
ppb aflatoksin G1, sedangkan oncom mengandung 67 ppb aflatoksin B1 dan 120 ppb
aflatoksin G1. Hasil pengamatan sebelumnya memperlihatkan bahwa kacang tanah yang
masih ditangan pedagang besar dan sub distributor pada umumnya belum tercemar
aflatoksin, sedangkan yang sudah ditangan pengencer di pasar sekitar 20%
tercemar pada tingkat yang membahayakan kesehatan (7,0 – 2000 ppb B1).
Pada umunya kedelai,
kacang hijau dan hasil olahannya tidak tercemar aflatoksin. Resisten kacang
kedelai terhadap aflatoksin ini diduga karena kandungan fitat yang tinggi
sehingga Zn unsur esensial untuk membantu biosintesis aflatoksin tidak tersedia
karena terikat oleh fitat sehingga meskipun Aspergillus flavus dapat tumbuh
pada kacang kedelai tetapi biosintesis aflatoksin sangat terlambat. Walaupun
demikian dari hasil pengumpulan contoh kacang kedelai di Thailand sekitar 3%
mengandung aflatoksin B1 lebih dari 100 ppb. Uganda kadar aflatoksin B1 pada
kacang kedelai juga relatif tinggi dibandingkan dengan Negara-negara lain.
Sekitar 23% dari contoh kedelai yang dianalisis ternyata mengandung aflatoksin
B1 hingga 500 ppb.
Menurut Rachmawati (2005),
hasil uji banding antar laboratorium dan hasil penelitian kerjasama dengan
Pengujian Mutu Pakan Ternak (BPMPT), Direktorat Jenderal Peternakan(tahun
2003-2004) juga menunjukkan bahwa 14% pakan ayam dari jumlah 207 sampel pakan yang
dianalisis mengandung aflatoksin melebihi standar mutu berdasarkan Standar
Nasional Indonesia (SNI). Sampel tersebut dikumpulkan dari beberapa sumber
termasuk pabrik pakan, penjual pakan ternak, dan sampel-sampel pakan yang
datang ke BPMPT, yang berasal dari beberapa propinsi di Indonesia.
2.1.2.
Persyaratan Kadar Aflatoksin
Peraturan
untuk mutu pakan yang berkaitan dengan batas maksimum aflatoksin yang masih
aman untuk dikonsumsi ternak tertuang dalam revisi SNI, PTM pakan konsentrat
non ruminansia dan ruminansia serta SK Dirjen Peternakan Nomor 524/TN
.250/Kpts/ DJP/ Deptan/1997, seperti disajikan pada Tabel 1, 2 dan 3.
Tabel
1. Kadar aflatoksin (AFL) dalam persyaratan mutu bahan pakan
Bahan
baku pakan
|
AFL, maks (ppb)
|
Canola meal
|
100
|
Repeseed meal
|
100
|
Sunflower seed meal
|
90
|
Cotton seed meal
|
100
|
Sesame seed meal
|
200
|
Jagung
|
50
|
Hasil ikutan,CGM 60
|
50
|
CGM 40
|
50
|
CGF
|
50
|
Homini
|
50
|
CGM = Corn Gluten Meal : CGF = Corn
Gluten Feed
Sumber: lampiran 1 dan 2 SK Dirjen
Peternakan No. 524/
TN.250/Kpts/DJP/Deptan/1997,
dalam Suparto(2004)
Tabel 2. Kadar maksimum
aflatoksin (AFL) dalam
persyaratan pakan non ruminansia (revisi SNI)
No.
|
Jenis pakan
|
AFL
ppb
|
Kode SNI
|
A
|
Ayam ras
petelur
|
|
|
|
Anak (starter)
|
50
|
01-3927-1995
|
|
Dara (grower)
|
50
|
01-3928-1995
|
|
Petelur (layer)
|
50
|
01-3929-1995
|
B
|
Ayam pedaging
|
|
|
|
Broiler starter
|
50
|
01-3930-1995
|
|
Broiler finisher
|
50
|
01-3931-1995
|
C
|
Puyuh petelur
|
|
|
|
Anak (starter)
|
40
|
01-3905-1995
|
|
Dara (grower)
|
40
|
01-3906-1995
|
|
Petelur (layer)
|
40
|
01-3907-1995
|
D
|
Itik petelur
|
|
|
|
Anak (starter)
|
20
|
01-3908-1995
|
|
Dara (grower)
|
20
|
01-3909-1995
|
|
Petelur (layer)
|
20
|
01-3910-1995
|
E
|
Babi
|
|
|
|
Anak prasapih
|
50
|
01-3911-1995
|
|
Anak sapih, Starter
|
50
|
01-3912-1995
|
|
Pembesaran, Grower
|
50
|
01-3913-1995
|
|
Finisher
|
50
|
01-3914-1995
|
|
Induk bunting
|
50
|
01-3915-1995
|
|
Induk menyusui
|
50
|
|
|
Pejantan
|
50
|
01-3916-1995
|
Sumber: revisi standar nasional Indonesia,
SNI, dalam Suparto (2004
Tabel 3. Kadar aflatoksin (AFL)
dalam Persyaratan Teknis Minimal (PTM)
pakan konsentrat non ruminansia dan
ruminansia
Jenis pakan
|
AFL maks (ppb)
|
Non Ruminansia
|
|
Konsentrat broiler
|
50
|
Konsentrat layer grower
|
50
|
Konsentrat layer
|
50
|
Konsentrat babi grower
|
50
|
Konsentrat babi finisher
|
50
|
Konsentrat babi induk
|
50
|
Konsentrat itik
|
50
|
Konsentrat ayam buras
|
50
|
Pakan ayam buras
|
50
|
Pakan burung berkicau
|
50
|
Konsentrat
Ruminansia
|
|
Sapi perah laktasi
|
200
|
Sapi perah laktasi produksi
|
200
|
Sapi perah kering bunting
|
200
|
Pengganti air susu
|
100
|
Pemula, colf starter
|
100
|
Sapi dara
|
200
|
Sapi pejantan
|
200
|
Sapi potong penggemukan
|
200
|
Sapi potong induk
|
200
|
Sumber :
Suparto,2004
2.2. Zearolenon
Zearalenon adalah toksin
estrogenik yang dihasilkan oleh kapang Fusarium graminearum, F.tricinctum, dan
F. moniliforme. Kapang ini tumbuh pada suhu optimum 20 – 250C
dan kelembaban 40 – 60 %.
Gambar 5 Struktur
kimia zearalenon
Jenis ini menyerang padi-padian dan cenderung
tumbuh terutama selama musim panen, dan musim dingin. Zearalenon stabil
terhadap panas dan ditemukan pada hampir setiap produk pertanian dan berbagai
padi-padian, jagung dan produk jagung, gandum, bir jagung, tepung terigu,
kenari dan roti dan dalam pakan ternak.
Gambar 6. Fusarium graminearu
Gambar 7. Fusarium
Tricinctum
Gambar 8. fusarium
moniliforme
Zearalenon secara alami membentuk estrogen
yang menyebabkan efek hormonal pada hewan ternak terutama babi. Pengaruh
zearalenon paling penting terhadap sistem reproduksi. Di Selandia Baru,
zearalenon merupakan penyebab infertilitas pada kambing walaupun toksisitas
akutnya rendah. Kemampuan zearalenon menimbulkan hiperestrogenisme, terutama
pada babi telah diketahui selama bertahun-tahun. Zearalenon
pertama kali diisolasi pada tahun 1962. Mikotoksin ini cukup stabil dan tahan
terhadap suhu tinggi. Hingga saat ini paling sedikit terdapat 6 macam
turunan zearalenon, diantaranya α-zearalenol yang memiliki aktivitas estrogenik 3 kali
lipat daripada senyawa induknya. Senyawa turunan lainnya adalah
6,8-dihidroksizearalenon, 8-hidroksizearalenon, 3-hidroksizearalenon,
7-dehidrozearalenon, dan 5-formilzearalenon. Komoditas yang banyak tercemar
zearalenon adalah jagung, gandum, kacang kedelai, beras dan serelia lainnya.
2.2.1 Penyakit yang Disebabkan oleh
Zearolenon
Kelompok mikotoksin zearolenon dihasilkan
oleh fungi fusarium graminearum dan
fusarium roseum. Kedua fungi tersebut merupakan sumber zearolenon (F-2),
yang tergolong mikotoksin yang mempunyai aktivitas estrogenik. Pada kondisi
lapangan, hanya zearolenon dan zearolenol yang banyak dilaporkan. Zearolenol
mempunyai aktivitas estrogenik yang lebih tinggi (3-4 x) dibandingkan dengan
zearolenon. Mikotoksin tersebut dapat ditemukan pada jagung, sorghum, gandum,
juwawut, oat, milo, rye dan berbagai jenis biji-bijian lainnya. Keracunan
zearolenon merupakan masalah yang penting pada babi sehubungan dengan masalah
reproduksi. Mikotoksin tersebut bersifat relative tidak toksik untuk ayam,
walaupun bahan tersebut mempunyai potensi untuk menimbulkan efek tertentu dan
dapat merupakan suatu indikator yang baik tentang adanya pencemaran yang
simultan dengan mikotoksin yang lain.
Ayam bibit pedaging
yang kontak dengan zearolenon sebesar 0,5-5,0 ppm dapat mengalami penurunan
produksi telur (puncak produksi tidak tercapai), walaupun fertilitas, daya
tetas telur, dan kualitas anak ayam tidak mengalami perubahan. Induk ayam yang
mengalami mikotoksikosis akan mempunyai kadar progesterone serum yang rendah
dan asites akibat pembentukan kista pada oviduk.
Ayam ayam petelur yang
mengalami keracunan zearolenon akan menunjukkan peningkatan berat bursa
fabricius (pengaruh hormonal yang menimbulkan endema lokal) dan pembentukan
kista pada permukaan peritoneum dan di dalam oviduk. Ayam petelur yang
keracunan zearolenon akan menunjukkan penurunan berat jenis telur, ketebalan
kerabang, dan kualitas yolk dan albumin.
Ayam pedaging bersifat
sangat toleran terhadap zearolenon. Akibat yang terlihat penurunan berat
jengger dan testes, pembesaran oviduk, dan leukopenia.
Didalam tubuh ayam zearolenon
didistribusikan terutama ke dalam hati dan
kandung empedu, kemudian diekskresikan melalui feses sebagai zearolenon dan
alfa dan beta zearolenol. Pada ayam petelur zearolenon diekskresikan secara
cepat melalui feses, walaupun residu bahan tersebut tetap juga ditemukan di
dalam yolk (kuning telur).
2.2.2 Aktivitas Biologi Zearolenon
1 . Efek Estrogenik Pada Ternak.
Gejala estrogenisme terjadi pada babi, ayam
dan kalkun. Pada babi terutama digejalai oleh adanya pembengkakan vulva, rahim
dan kelenjar susu serta putingnya, prolapsus vagina dan atropi ovarium. Pada
babi bunting, berakibat lahir mati, atau mati muda atau beranak sedikit
sedangkan pada babi jantan muda berefek kebetina-betinaan (feminizing effect)
dengan gejala buah zakar beratropi dan kelenjer susu membengkak. Pada ayam
petelur menurunkan mutu kulit kerabangnya dan pada kalkun berakibat
pembengkakan dubur sampai prolapsus kloaka.
2.2.3 Aktivitas Biologik Lainnya
a. Efek anabolik, atau growth promoter pada ternak tertentu
Anak-anak domba akan meningkat beratbadan
hariannya sebesar 40% dari pertambahan berat badan kontrol, apabila zearalenon
diberikan pada ransumnya, atau disuntikkan secara sub-kutan, dalam jangka waktu
28 hari, konversi makanan rata-rata
persatuan berat badan menjadi turun yang berarti adanya efisiensi dalam
penggunaan ransum. Berbagai derivate zearolenon antara lain zearolenol telah
digunakan sebagai bahan feed additive atau implantasi subkutan di telinga
domba, sapi dan babi.
b. Efek Menginduksi Stadium Seksual Mikroorganisme
Dengan konsentrasi rendah, zearalenon mampu
bertindak sebagai hormon perangsang pertumbuhan
seksual, dalam hal ini perkembangan peritesium (tubuh-buah) dari cendawan penghasil
toksin tersebut, yakni fusarium
graminearum, sedangkan dengan konsentrasi tinggi justru menghambat.
Sifat-sifat ini berlaku pula bagi cendawan homotalik lainnya (anggota dari
kelas Ascomycetes dan Phycomycetes).
c. Efek Mereduksi Kapasitas Reproduksi Serangga
Kapasitas reproduksi
berbagai jenis serangga, khususnya yang menjadi hama komoditi pertanian,
seperti kutu dan ulat. Tepung beras dan biji-bijian serelia lainnya mampu
direduksi oleh zearolenon ini. Peristiwa ini merupakan komponen penting dalam
program pengendalian hama tersebut. Meskipun zearolenon itu sendiri pada
konsentrasi sampai dengan 1000 ppm belum berpengaruh apa-apa, namun komponen
lain dari produk Fusarium tersebut mampu menurunkan daya tetas telur,
metamorphosis dan pertumbuhan populasi serangga.
2.3. Teknik
Deteksi Senyawa Aflatoksin
Teknik deteksi aflatoksin berdasarkan AOAC
(1984) adalah menggunakan kromatografi lapis tipis (Thin Layer Chromatography-
TLC) atau kromatografi cair kinerja tinggi (High Performance Liquid
Chromatography-HPLC). Metode ELISA sudah mulai dipakai untuk analisis
kuantitatif, dan diakui dapat digunakan sebagai metode skrming yang cepat dan
sensitif serta sudah banyak dikembangkan dan digunakan. Dibandingkan dengan metoda
kimia fisika (kromatografi), metoda ELISA mempunyai beberapa keuntungan karena
dinilai cukup cepat, sensitif dan relatif murah. Sementara itu, metoda kimia
fisika mempunyai kelemahan selain harga instrumen yang mahal, diperlukan
pelaksana yang betul-betul terlatih, dan tahap analisis yang cukup panjang
melalui tahapan ekstraksi, pemurnian, pemisahan, dan memerlukan pereaksi cukup
banyak, sehingga biaya analisis menjadi mahal.
Metode ELISA dengan monoklonal dan poliklonal
antibodi sudah diterapkan untuk analisis AFB I pada kacang tanah (Kawamura et al., 1988), total aflatoksin pada
sampel jagung dan pakan ternak (Trucksess et
al., 1989) dan sampel-sampel biologi seperti twin manusia dan hewan ternak
(Stubble et al., 1991). Limit deteksi
untuk analisis metode ELISA dapat membaca sampai konsentrasi 0,1 ppb.
Format ELISA yang umum dikembangkan untuk
senyawa dengan bobot molekul rendah (hapten) adalah ELISA kompetitif. Pada
dasarnya terdiri dari 2 format yaitu kompetitif langsung dan kompetitif tidak
langsung (Stanker dan Beier, 1995). Teknik deteksi senyawa racun aflatoksin
yang dikembangkan Balitvet adalah secara format ELISA kompetitif langsung. Pengembangan ELISA format kompetitif
langsung menggunakan antibodi poliklonal dan konjugat enzim yang dibuat
Balitvet ini ternyata cukup sensitif dan lebih spesifik terhadap senyawa racun
AFB1, dengan reaksi silang yang rendah terhadap jenis AFB2, AFGI dan AFG2. Pengembangan
teknik deteksi tersebut meliputi beberapa tahapan sebagai berikut (Rachmawati et al., 2004):
1) Sintesa hapten
2) Imunisasi kelinci, untuk produksi antibodi
3) Pengembangan format ELISA
4) Pengujian performan tes ELISA
5) Perakitan prototipe ELISA kit, pelatihan
dan uji coba lapang
1. Sintesa Hapten
Hapten adalah senyawa dengan bobot molekul
rendah biasanya Iebih kecil dari 10.000. Antibiotik, pestisida, mikotoksin termasuk
senyawa ini dan umumnya tidak dapat merangsang terbentuknya antibodi pada
ternak, karena tidak bersifat
imunogenik, atau sifat imunogeniknya lemah. Berbeda dengan senyawa dengan berat
molekul besar seperti polisakarida, protein, asam nukleat dan mikroorganisme, yang masuk tubuh sebagai antigen dan bersifat
imunogenik, dapat merangsang terbentuknya antibodi, sehingga dapat diproduksi
antibodi spesifik. Hapten sebagai antigen, dan supaya terbentuk antibodi pada
tubuh ternak jika disuntikkan maka senyawa hapten tersebut harus dikonjugasi
secara kimiawi dengan senyawa bermolekul besar seperti protein (Bovine Serum
Albumin-BSA atau Keyhole Limphet Haemocyanin-KLH, dll) sehingga bersifat
imunogenik dan dapat merangsang respon kekebalan pada ternak. Untuk keperluan
kompetitor pada ELISA kompetitif langsung (direct competitive ELISA), hapten
ini dikonjugasi dengan enzim (Horse Raddish Perox idase-HRPO). Aflatoksin B
merupakan senyawa hapten dengan ikatan cincin yang tertutup, sehingga tidak
reaktif. Untuk dapat mengikat protein atau enzim perlu disintesa menjadi
senyawa aflatoksin B, carboxymetil oxime, dan ester aktif hydroxysuccinamida.
Hasil konjugasi berupa AFBI - BSA dan/atau AFB1-KLH diimunisasikan pada kelinci.
Sedangkan hasil berupa AFB1-HRPO digunakan sebagai kompetitor pada penetapan
ELISA kompetitif langsung.
2. Imunisasi Kelinci
Imunisasi dilakukan dengan menyuntikkan
antigen AFB1 - BSA dan AFB1-KLH masing-masing terhadap dua kelinci untuk
mendapatkan antibodi yang akan digunakan untuk pengembangan metode ELISA.
Jadwal imunisasi kelinci adalah sebagai berikut :
a) Penyuntikkan pertama sebanyak 0,5 mg/ml AFB1- BSA atau AFB1-KLH yang diemulsikan
dalam freund's complete adjuvant.
b) Penyuntikan kedua dan ketiga adalah penyuntikan boster dengan
interval waktu 2 minggu yaitu sebanyak masing-masing 0,25 mg/ml yang
diemulsikan dalam 250 µl incomplete adjuvant.
c) Penyuntikan boster selanjutnya diberikan setiap bulan dengan dosis
0,25 mg/ml antigen AFB1-BSA atau AFB1-KLH yang diemulsikan dalam incomplete
adjuvant.
Selanjutnya darah dikumpulkan setiap bulan,
10 hari setelah penyuntikan boster, dipisahkan serumnya dan dilakukan pemurnian
serum dengan menggunakan kolom Protein A Sepharose, dan inilah antibodi AFB1-BSA
atau antibodi AFB1-KLH murni yang digunakan untuk pengujian ELISA. Kadar
Imunoglobulin G (IgG) yang terkandung dalam antibodi selanjutnya dihitung
dengan mengukur absorbansi larutan antibodi dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 280 nm. Antibodi dengan kadar IgG dalam kisaran 2,2-4,0 mg/ml
untuk penyimpanan waktu yang lama perlu ditambahkan natrium azide dan disimpan
beku.
Pengujian respon antibodi pada plat ELISA
dilakukan dengan mentitrasi antibodi dan konjugat enzim. Antibodi yang
dikumpulkan pada perdarahan ke-5 yaitu setelah penyuntikan boster yang ke-6
kali menghasilkan antibodi yang cukup baik dengan respon yang sensiti f dimana
nilai absorpsi pada ELISA reader (OD) kontrol mencapai 0,8->l,0.
3. Pengembangan Format ELISA
Setelah dapat diidentifikasi antibodi dengan
respon yang cukup sensitif, studi diteruskan dengan pengembangan format ELISA.
Format untuk ELISA yang dikembangkan adalah ELISA kompetitif langsung. Dengan
menggunakan antibodi AFBZ-BSA yang dikumpulkan pada perdarahan kelima (5BSA)
didapatkan bahwa format ELISA kompetitif langsung lebih sensitif dibandingkan
dengan format ELISA kompetitif tidak langsuung. Pengembangan analisis yang
dilakukan pertama kali masih cukup lama "long assay" dengan waktu
inkubasi antibodi, semalam, konjugat 45 menit dan substrat 30 menit, dan
pembacaan serapan warna dengan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm.
Format ELISA kompetitif langsung dipilih untuk studi selanjutnya.
4. Pengujian Performan Tes ELISA
Pengujian spesifita& dilakukan dengan
mengevaluasi respon antibodi AFB, terhadap jenis aflatoksin lainnya yaitu AFB2,
AFG, dan AFGZ . Antibodi ternyata memberikan respon yang spesifik terhadap AFB Z
(100%), tetapi memberikan sedikit reaksi silang dengan jenis aflatoksin lainnya
(0,9 : 3,5 dan 1,6%) untuk masing-masing
AFB2, AFG, dan AFGZ. Perhitungan reaksi
silang didasarkan atas konsentrasi pada nilai inhibisi 50% (IC50 ) yaitu titik
yang paling tepat pada kurva kalibrasi, dimana didapatkan nilai untuk
masing-masing AFB2, AFG, dan AFG2 yaitu 99,3 : 25,1 dan 52,8 ng/mI serta 0,87
ng/ml untuk aflatoksin B 1. Dari nilai IC 50 tersebut selanjutnya dihitung
persen reaksi silang yaitu perbandingan nilai IC 50 AFB Z dengan nilai IC 50
masing-masing jenis aflatoksin. Perhitungan limit deteksi ditetapkan pada
konsentrasi AFB Z yang memberikan nilai inhibisi 15% (IC15 ) dari 10 penetapan.
Pada percobaan ini diperoleh IC 15 yaitu 0,18 ± 0,06 ppb. Maka limit deteksi
adalah rata-rata penetapan 10 replikat ± 2 kali standar deviasi yaitu 0,3 ppb.
Konsentrasi AFB Z 0,3 ppb adalah yang terendah dapat dideteksi dengan metode
ELISA yang dikembangkan, dengan kisaran analisis sampai 30 ppb.
Selanjutnya tes ELISA diuji toleransinya terhadap
beberapa pelarut organik seperti metanol, etanol, asetonitril, aseton yang
sering digunakan untuk ektraksi AFBZ pada sampel. OD menjadi lebih kecil pada
pelarut dengan konsentrasi yang semakin tinggi dan tes ELISA dengan menggunakan
antibodi 5 BSA dan konjugat yang dihasilkan hanya toleran terhadap metanol
dengan konsentrasi maksimum 60%. Aseton dan asetonitril dapat digunakan sampai
maksimum 40%, sedangkan respon terhadap etanol kurang begitu baik. Pengujian
ELISA hanya tahan pada pH antara 7,2-9,6. Pada pH 4 pembentukan warna sangat
rendah, sedangkan pada pH 3, tidak terbentuk/warna hilang sehingga OD rendah
sekali.
Pengujian selanjutnya terhadap matrik sampel.
Matrik sampel dapat berpengaruh terhadap sensitifitas, perubahan/penurunan
nilai absorban (OD) atau kedua-duanya. Pakan tersusun dari berbagai bahan
diantaranya jagung, dedak padi, bungkil kedelai (soybean meal-SBM), gluten
(corn gluten meal-CGM), canola meal, tepung ikan (flish meal). Toleransi tes
ELISA diuji terhadap larutan bahan pakan tersebut dalam metanol . OD dari
kontrol dengan matrik jagung tidak begitu berbeda dibandingkan OD dari kontrol
dalam metanol saja, yang menunjukkan bahwa matrik jagung tidak begitu
berpengaruh terhadap penetapan secara ELISA. Terdapat sedikit pengaruh matrik dari
tepung ikan, bungkil kedelai dan dedak padi, sedangkan gluten dan canola
memberikan efek matrik yang sedikit lebih besar dan ditandai dengan penurunan
OD pada kontrol dengan bahan tersebut dibandingkan kontrol dalam metanol. Efek
matrik pakan bervariasi, nampaknya pakan yang banyak mengandung bahan seperti
gluten dan canola, memberikan pengaruh terhadap penurunan nilai OD. Pengaruh
matrik dapat dihilangkan dengan prosedur "clean up" atau dengan
menganalisa sampel mengacu pada kalibrasi standar dalam matrik. Cara
pengenceran ekstrak sampel sebelum analisa cukup efektif, jika sensitivitas
penetapan mencukupi. Penambahan protein atau deterjen pada pelarut dapat
dilakukan untuk menghilangkan efek dari matrik, namun cara ini terbatas pada
tingkat kecocokan antibodi dan konjugat enzim terhadap pereaksi ini . Pengaruh
matrik pakan pada analisis secara ELISA ternyata dapat diatasi dengan cara
pengenceran ekstrak sampel
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Aflatoksin adalah suatu mikotoksin yang
merupakan metabolit hasil jamur Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Pakan ternak di Indonesia umumnya mengandung
aflatoksin, namun sampel yang mengandung aflatoksin tinggi dan melebihi standar
SNI (>50 ppb) relatif sedikit. Batas maksimal aflatoksin pada pakan, pakan
konsentrat dan bahan baku pakan termasuk jagung sudah ditetapkan dalam SNI. Metode
yang digunakan untuk analisis aflatoksin secara cepat dan akurat yaitu kit
ELISA.
Zearalenon adalah mikotoksin
estrogenik yang dihasilkan oleh kapang Fusarium graminearum,
F.tricinctum, dan F. Moniliforme. Zearalenon stabil terhadap panas dan
ditemukan pada hampir setiap produk pertanian dan berbagai padi-padian, jagung
dan produk jagung, gandum, bir jagung, tepung terigu, kenari dan roti dan dalam
pakan ternak. Zearalenon secara alami membentuk estrogen yang menyebabkan efek
hormonal pada hewan ternak.
3.2. Saran
Sebaiknyakita lebih
banyak membaca literatur tentang mikotoksin terutama aflatoksin dan zearolenon
ini agar wawasan kita menjadi lebih luas.
DAFTAR
PUSTAKA
Bahri, S., Ohim dan
R. Maryam. 1994. Residu Aflatoksin
Pada Air Susu Sapi dan Hubungannya dengan Keberadaan Aflatoksin B Pada Pakan
Sapi. Dalam kumpulan makalah lengkap
kongres nasional perhimpunan mikologi kedoktera manusia dan hewan, Idonesia ke
I dan temu ilmiah, Bogor,21-24 Juli
1994. Him. 269-275
Bahri, S.,
Yuningsih,R. Maryam dan P. Zahari.
1994. Cemaran Aflatoksin Pada Pakan Ayam.
diperiksa di labolatorium toksikologi balitvet tahun 1988-1991. Penyakit hewan 47: 39-42
Hastiono, Sukardi. 1983. Zearolenon, Mikotoksin yang Bersifat
Estrogenik. Balai Penelitian Penyakit Hewan. Bogor.
Wartazoa. Volume 1 No.2. Oktober 1983
Rahcmawati, Sri. 2005. Aflatoksin dalam Pakan Ternak di Indonesia :
Persyaratan Kadar dan Pengembangan Teknik Deteksinya. Balai Penelitian Veteriner. Bogor. Wartazoa.
Volume 15 No. 1
Rahmawati, S. 2004. Uji Banding Antar Labolatorium, Pengujian
Elisa Kit Aflatoksin. Laporan Hasil
Kegiatan Kerjasama Antar Balai Penelitian Veteriner dengan PT Sinta Prima
Feedmill,PT Sierad Tbk, Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak, dan Balai Penyidikan
dan Pengujian Veteriner Regional IV.
Him. 2-9
Rahmawati, S. 2004. Kit ELISA (aflavet) Untuk Deteksi Aflatoksin
Pada Produk Pertanian. Makalah
dipresentasikan pada sesi poster fgW Food Conference. Oktober,2004.
Jakarta. FgW School of Food
Technolog
Rahmawati, S. 2004. Pengujian Lapang Perengkat ELISA Kit
Aflatoksin B, Untuk Monitoring
Kualitas Pakan Veteriner dengan Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak. Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian
Partisipasif. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Dapartemen pertanian.
Him. 14-17
Suparto, D.I. A.H.
2004. Situasi Cemaran Mikotoksin Pada Pakan Indonesia dan
Perundang-Undanganya. Seminar Parasitologi
dan Teknologi Veteriner. Kerjasama Balai Penelitan Veteriner, Pusat Penelitiaana
dan Pengembangan Peternakan dengan Dapartemen for Internasional Development
(DOD-UK), Bogor 20-21 April, 2004.
him. 131-142
Widiastuti, R. 2000. Residu
Aflatoksin Pada Daging dan Hati Sapi di Pasar Tradisional dan Swalayan di Jawa
Barat. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner.
Bogor,18-19 OKTOBER 1999.
Him. 609-614
Yanuartin, C. 2004. Permasalahan Kualitas Pakan di Indonesia. Pros, Seminar Parasitologi dan Toksikologi
Veteriner. Kerjasama Penelitian
Veteriner, Pusat Penelitian Dan Pengemangan Peternakan dengan Dapartemen for
Internasional Development(DflD-UK), Bogor 20-21 April, 2004. him.
127-130
Tidak ada komentar:
Posting Komentar