Minggu, 08 Mei 2016

“AFLATOKSIN DAN ZEAROLENON DALAM PAKAN TERNAK DI INDONESIA : PERSYARATAN KADAR DAN PENGEMBANGAN TEKNIK DETEKSINYA”


MAKALAH TOKSIKOLOGI PAKAN
“AFLATOKSIN DAN ZEAROLENON DALAM PAKAN TERNAK DI INDONESIA : PERSYARATAN KADAR DAN PENGEMBANGAN TEKNIK DETEKSINYA”

Oleh :
Kelompok I
1. Yani Andriaati        1310611186
2. Arianto Aswin         1310611111
3. Regi Aris                 1310612058
4. Lestari Refis T        1310611180
5. Nailurrahmi             1310611038
6. Danil Saputra          1310611164
7. M. Jaelani Maesa    1310611068
8. Risky Deswandi      1310612010
9. M. Naufal Rovian   1310612102
10. Wahyu Aandriko   1310611072

Dosen :Dr.Ir. Yuliaty Shafan Nur, MS

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS ANDALAS
Padang, 2016


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Aflatoksin dan Zearolenon dalam Pakan Ternak di Indonesia:Persyaratan Kadar dan Pengembangan Teknik Deteksinya” ini dengan lancar. Dalam penulisan makalah ini, kami mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak.  Oleh sebab itu, kami mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing selaku dosen untuk matakuliah toksikologi pakan, teman-teman, dan kedua orang tua yang telah memberikan dukungan, baik moral maupun materi.
Kami menyadari bahwa makalah yang dibuat ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan agar kami dapat memperbaiki untuk kesempatan berikutnya. Akhir kata, semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca sekalian.










Padang, 5 April 2016



Kelompok II


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang................................................................................................ 3
1.2. Rumusan Masalah........................................................................................... 4
1.3. Tujuan.............................................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Aflatoksin......................................................................................................... 5
2.1.1 Cemaran Aflatoksin pada jagung.................................................................. 9
2.1.2 Persyaratan Kadar Aflatoksin..................................................................... 11
2.2 Zearolenon...................................................................................................... 13
2.2.1 Penyakit yang Disebabkan oleh Zearolenon…………………………….…15
2.2.2 Aktivitas Biologi Zearolenon……………………………………………...16
2.2.3 Aktivitas Biologik Lainnya………………………………………………..16
2.3. Teknik Deteksi Senyawa Aflatoksin………………………………………………….17
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan.................................................................................................... 22
3.2. Saran.............................................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 23


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
            Kontaminasi mikotoksin pada bahan pangan atau pakan sangat sulit dihindari karena kondisi iklim Indonesia yang sangat mendukung pertumbuhan kapang. Kerugian akibat pencemaran kapang, aflatoksin, dan zearolenon merupakan masalah di bidang peternakan, karena dapat mempengaruhi produktivitas ternak. Kapang dapat menyebabkan kerusakan fisik dan kimiawi pakan. Kerusakan fisik terjadi oleh peningkatan pertumbuhan dan populasi kapang sehingga warna, bentuk, dan bahan pakan tersebut berubah, sedangkan kerusakan kimiawi terjadi oleh adanya produksi aflatoksin dari kapang tersebut, sehingga pakan tercemar aflatoksin.
Masalah yang cukup berat akibat dari pencemaran aflatoksin dan zearolenon pada pakan akan berlanjut dengan timbulnya gangguan keracunan bagi ternak yang mengkonsumsi pakan tercemar tersebut. Data FAO menyatakan bahwa 25% suplai biji-bijian di dunia terkontaminasi oleh kapang dan mikotoksin. Di negara Asia Tenggara malahan ditemukan sebanyak kira-kira 50% jagung dan 90% pakan ternak unggas terkontaminasi mikotoksin, yang merupakan sumber kerugian ekonomi utama pada industri peternakan di negara-negara tropis ini (Liu, 2002). Hasil studi di tiga negara ASEAN melaporkan bahwa sebesar 400 juta dollar kerugian setiap tahunnya terjadi akibat menurunnya produktivitas ternak (Zanneli, 2000) .
Untuk menjaga agar kadar aflatoksin pada pakan dan pangan tetap dalam batas-batas yang masih dapat ditolerir dan tidak membahayakan ternak dan manusia, beberapa negara termasuk Indonesia telah menetapkan batas maksimum kadar aflatoksin pada pakan dan pangan . Metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dianggap dapat dilakukan lebih mudah dan cepat serta cukup sensitif. Kegiatan pengembangan kit ELISA aflatoksin B, telah dilakukan oleh Balitvet, dan telah dapat dirakit kit ELISA aflatoksin B, untuk analisis kandungan aflatoksin pada sampel pakan dan jagung .

1.2. Rumusan Masalah
            1.Apa itu aflatoksin ?
2.Berapa kadar aflatoksin yang masih dapat ditolerir dan tidak membahayakan ternak ?
3.Bagaimana dampak kelebihan aflatoksin yang ditimbulkan pada ternak?
4. Apa dan bagaimana pengembangan teknik deteksi aflatoksin tersebut?
            5.Apa itu zearolenon ?
6.Bagaimana dampak yang ditimbulkan pada ternak yang mengkonsumsi zearolenon?
1.3. Tujuan
            1.Untuk mengetahui apa itu aflatoksin.
2.Untuk mengetahui berapa kadar aflatoksin yang masih dapat ditolerir dan tidak membahayakan ternak.
3.Untuk mengetahui bagaimana dampak kelebihan aflatoksin yang ditimbulkan pada ternak.
4.Untuk mengetahui apa dan bagaimana pengembangan teknik deteksi aflatoksin.
            5.Untuk mengetahui apa itu zearolenon.
6.Untuk mengetahui bagaimana dampak yang ditimbulkan pada ternak yang mengkonsumsi zearolenon.












BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Aflatoksin
Aflatoksin adalah suatu mikotoksin yang merupakan metabolit hasil jamur Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Aflatoksin merupakan kontaminan yang paling sering dijumpai pada hasil panen pertanian serta bahan makanan pokok di banyak negara berkembang sehingga mengancam keamanan pangan. Toksin yang dikeluarkan oleh jamur ini dapat dijumpai selama masa produksi bahan pangan, pada waktu panen, pada saat penyimpanan dan proses pembuatan makanan. Kondisi lingkungan yang diperlukan untuk terbentuknya aflatoksin oleh kapang adalah kelembaban minimum 85 persen dan suhu optimum 25-27°C. A. flavus umumnya memproduksi aflatoksin B (AFB, dan AFBZ ), sedangkan A. parasiticus dapat memproduksi aflatoksin B dan aflatoksin G (AFG). A. flavus terdapat di mana-mana, sedangkan A. parasiticus tidak. Saat ini ada 4 macam aflatoksin yaitu AFB1, AFB2 , AFG1, dan AFG2 yang merupakan aflatoksin induk yang telah dikenal secara alami dan dijumpai di alam. AFB1 adalah jenis aflatoksin yang paling toksik  di banding AFB2 , AFG1, dan AFG2, mempunyai daya racun yang rendah, hanya 1/60-1/100 kali dibandingkan AFB1, dan tidak terlalu berbahaya.
Gambar 1. struktur kimia AFB1, AFB2 , AFG1, dan AFG2

Kapang tersebut banyak mencemari produk pertanian, diantaranya adalah kacang-kacangan, beras, jagung, gandum, biji kapas dan biji-bijian lainnya (Diener dan Davis, 1969). Tercemarnya pakan ternak oleh kapang dan aflatoksin juga dilaporkan dapat mengganggu fungsi metabolisme, absorpsi lemak, penyerapan unsur mineral, khususnya tembaga (Cu), besi (Fe), kalsium (Ca), dan fosfor (P), serta beta-karoten, penurunan kekebalan tubuh, kegagalan program vaksinasi, kerusakan kromosom, perdarahan, dan memar. Semua gangguan tersebut berakibat pertumbuhan terhambat dan kematian meningkat sehingga produksi ternak menurun (Jassar dan Balwant Singh, 1989 ; Abdelhamid dan Dorra, 1990; Dimri et al., 1994 ; Mani et al., 2001 ; Prabaharan et al., 1999)
            Aflatoksin mempunyai sifat karsinogenik dan hepatotoksik. Sifat ini tergantung pada lama dan tingkat paparan terhadap aflatoksin. Konsumsi aflatoksin dosis tinggi dapat menyebabkan terjadinya aflatoksikosis akut yang dapat menimbulkan manifestasi hepatoksisitas atau pada kasus-kasus berat dapat terjadi kematian akibat fulminat liver failure (Banet dalam Yenny, 2006). Manusia dapat terpapar oleh aflatoksin dengan mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi oleh toksin hasil dari pertumbuhan jamur ini. Kadang paparan sulit dihindari karena pertumbuhan jamur di dalam makanan sulit untuk dicegah.
Di Indonesia, aflatoksin merupakan mikotoksin yang sering ditemukan pada produk-produk pertanian dan hasil olahan (Muhilal dan Karyadi, 1985, Agus et al., 1999). Selain itu, residu aflatoksin dan metabolitnya juga ditemukan pada produk peternakan seperti susu (Bahri et al., 1995), telur (Maryam et al., 1994), dan daging ayam (Maryam, 1996). Sudjadi et al (1999) melaporkan bahwa 80 diantara 81 orang pasien (66 orang pria dan 15 orang wanita) menderita kanker hati karena mengkonsumsi oncom, tempe, kacang goring, bumbu kacang, kecap dan ikan asin. AFB1, AFG1, dan AFM1 terdeteksi pada contoh liver dari 58% pasien tersebut dengan konsentrasi diatas 400 µg/kg.
Aflatoksin juga dapat dijumpai pada susu  yang dihasilkan  hewan ternak yang memakan produk yang terinfestasi kapang tersebut. Obat juga dapat mengandung aflatoksin bila terinfestasi kapang ini. Praktis semua produk pertanian dapat mengandung aflatoksin meskipun biasanya masih pada kadar toleransi. Daerah tropis merupakan tempat berkembang biak paling ideal. Toksin ini memiliki paling tidak 13 varian, yang terpenting adalah B1, B2, G1, G2, M1, dan M2.
Aflatoksin B1 dihasilkan oleh kedua spesies, sementara G1 dan G2 hanya dihasilkan oleh  A. parasiticus. Aflatoksin M1, dan M2 ditemukan pada susu sapi dan merupakan epoksida yang menjadi senyawa antara Jenis alfatoksin berdasarkan penampakan fluoresensinya pada lempeng kromatografi lapis tipis di bawah sinar UV yang memberikan warna biru (blue) untuk B dan warna hijau (green) untuk G.
Aflatoksin B1, senyawa yang paling toksik,berpotensi merangsang kanker, terutama kanker hati. Serangan toksin yang paling ringan adalah lecet (iritasi) ringan akibat kematian jaringan (nekrosis). Pemaparan pada kadar tinggi dapat menyebabkan sirosiskarsinoma pada hati, serta gangguan pencernaan, penyerapan bahan makanan, dan metabolisme  nutrien. Toksin ini di hati akan direaksi menjadi epoksida yang sangat reaktif terhadap senyawa-senyawa di dalam sel. Efek karsinogenik terjadi karena basa N guanin pada DNA akan diikat dan mengganggu kerja gen. Pemanasan hingga 250 derajat Celsius tidak efektif menginaktifkan senyawa ini. Akibatnya bahan pangan yang terkontaminasi biasanya tidak dapat dikonsumsi lagi.
Aflatoksin merupakan mikotoksin utama yang secara alami tersebar luas dan dapat mengkontaminasi produk-produk pertanian dan pakan ternak. Senyawa aflatoksin ini diketahui dapat menurunkan produktivitas unggas, bahkan dapat menekan daya kekebalan tubuh ayam (efek immunosupressif). Azam dan Gabal (1998) telah membuktikan bahwa pemberian 200 ppb aflatoksin B1 pada ayam petelur dapat menurunkan produksi telur, berat telur, serta menurunkan titer antibodi terhadap ND, IB dan IBD. Selain itu aflatoksin diketahui sebagai penyebab kegagalan vaksinasi dan dapat menimbulkan efek penyakit gumboro (IBD) lebih ganas (Chang dan Hamilton, 1981).
Empat macam aflatoksin alamiah yang paling sering dijumpai dan bersifat toksik yaitu aflatoksin B1, B2, G1, G2. Aflatoksin mempunyai kurang lebih 20 macam derivat, akan tetapi yang paling toksik adalah aflatoksin B1. Aflatoksin B1 dan B2 dapat menghasilkan metabolit aflatoksin M1 dan M2 melalui hidroksilasi, dimana keduanya dihasilkan jika sapi atau hewan ruminansia lainnya memakan pakan yang terkontaminasi oleh aflatoksin B1 atau B2. Aflatoksin M1 dan M2 ini kemudian akan diekskresikan melalui susu yang dihasilkan sapi tersebut dan bisa saja mengkontaminasi produk dari susu seperti keju dan yogurt.
Aflatoksin sering terdapat pada jagung dan produk olahannya; kacang dan produk olahannya; biji kapas, susu, dan tree nuts seperti kacang brasil, kacang pistachio dan walnut. Selain itu juga terdapat pada sereal dan produk sereal seperti pasta, dan mi instan. Pada sejumlah spesies hewan, senyawa ini menyebabkan nekrosis, sirosis dan karsinoma organ hati  dilaporkan tidak ada hewan yang resisten terhadap efek toksik akut dari aflatoksin. Aflatoksin B1 merupakan karsinogen paling potensial (termasuk kelompok 1A) pada banyak spesies termasuk primata, burung, ikan, dan rodensia. Dalam dosis yang tinggi aflatoksin dapat menyebabkan efek akut. Aflatoksin juga dapat terakumulasi di otak dan mempunyai efek buruk terhadap paru-paru, miokardium dan ginjal. Efek kronik pada manusia yaitu kanker hati, hepatitis kronik, hepatomegaly, penyakit kuning dan sirosis hati akibat mengkonsumsi pangan yang terkontaminasi aflatoksin pada konsentrasi rendah secara terus menerus.
Gambar 2. Aspergillus Flavus

Gambar 3. Aspergillus Parasiticus





2.1.1. Cemaran Aflatoksin pada Kacang- Kacangan
            Komposisi jagung pada pakan ternak mencapai 60%. Oleh karena itu, penggunaan jagung yang berkualitas baik sangat penting untuk menghasilkan pakan yang bermutu baik. Masalah yang sering timbul dalam pemanfaatan jagung sebagai bahan pangan maupun pakan adalah kontaminasi senyawa aflatoksin. Senyawa ini dihasilkan oleh kapang Aspergilus flavus yang umumnya tumbuh pada jagung yang berkadar air tinggi (>15%) akibat cara penyimpanan yang kurang benar (Rachmawati, 2005). Aspergillus flavus adalah kapang dominan yang ditemukan pada sampel jagung, dan merupakan penyebab utama kerusakan pada jagung baik prapanen ataupun pascapanen. Mikroorganisme ini biasanya ditemukan pada saat musim kering atau musim kemarau. Konsentrasi aflatoksin tidak akan berkurang selama penyimpanan, bahkan akan bertambah atau tetap (Mulyawanti dkk., 2006).
            Di Indonesia kadar Aflatoksin maksimum pada jagung sebagai bahan pangan telah ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan RI sebesar 20 ppb. Hal ini sesuai dengan ketetapan Food and Drug Administration yang mengeluarkan kadar baku tertinggi total aflatoksin yang diizinkan pada pangan dan pakan komersial yaitu sebesar 20 ppb (Brown dalam Kusumaningrum dkk., 2010).
Hasil penelitian Kusumaningrum dkk. (2010) mendapatkan bahwa sekitar 88% sampel jagung ditemukan kapang dan sekitar 40% positif tercemar A.flavus. Jenis Pangan yang paling sering ditemukan kontaminasi A.flavus adalah jagung pipil yaitu sekitar 58,6%. Sedangkan pada produk setengah jadi (tepung/pati/beras jagung) cemaran A.flavus yang ditemukan adalah 30 %dan pada jagung manis 7%.
 
Gambar 4. Jagung  dan kacang tanah yang tercemar Aspergillus


Hasil penelitian Rahayu dkk. (2003) mengenai cemaran Aflatoksin pada produksi Jagung di daerah Jawa Timur diperoleh data Uji aflatoksin pada 70 sampel jagung yang diambil di tingkat petani menunjukkan bahwa 30% jumlah sampel tidak terdeteksi aflatoksinnya 50% dengan cemaran aflatoksinnya < 20 ppb, 11% dengan 20 – 100 ppb, dan 9% dengan cemaran >100 ppb. Cemaran tertinggi pada tingkat petani adalah 353 ppb. Dari 45 sampel jagung yang diambil dari pengumpul dan pedagang, 13% kandungan aflatoksinnya tidak terdeteksi, 29% dengan konsentrasi < 20 ppb, 40% berkisar antara 20– 100 ppb, sedang 18% memiliki cemaran> 100 ppb. Cemaran tertinggi adalah 340 ppb.
Aflatoksin dapat mencemari bahan pangan dari jenis kacang-kacangan seperti kacang tanah, kacang  kedelai dan kacang  hijau. Bahan pangan atau pakan yang  paling rentan terhadap aflatoksin adalah kacang tanah. Berbagai penelitian mengenai kandungan aflatoksin pada kacang tanah dalam bentuk biji utuh, minyak goreng  maupun  makanan yang menggunakan bumbu telah dilakukan. Tingkat cemaran tersebut beragam  mulai dari angka yang paling rendah di bawah ambang batas toleran, hingga kandungan yang sangat tinggi, tergantung dari lokasi, jenis produk dan tingkat penanganan atau pengolahan produk kacang tanah tersebut. Suhu tanah optimum untuk perkembangan Aspergillus flavus berkisar 25,70 °C – 31,30 °C. Di Indonesia, kacang tanah biasanya ditanam pada lahan kering di musim kemarau sehingga akan mengalami cekaman kekeringan sekaligus suhu, oleh sebab itu peluang untuk terkontaminasi Aspergillus flavus cukup besar.
Hasil studi makanan jalanan di Bogor, Jakarta, Krawang (Rengasdengklok),  Sukabumi  (Cibadak)  dan  Rangkas bitung  terhadap makanan yang  mengandung  kacang  tanah (sebagai bumbu) memperlihatkan bahwa 22 dari 129 contoh makanan mengandung 3,0 – 60 ppb aflatoksin B1 dan 1,3 – 30,0 ppb aflatoksin B2. Jenis makanan jalanan yang dianalisa tersebut adalah gado-gado, kacang goreng, karedok, ketoprak, ketupat tahu dan lontong pecel.
Hasil studi pada bungkil kacang tanah menunjukkan bahwa mengandung 126 ppb aflatoksin B1 dan 174 ppb aflatoksin G1, sedangkan oncom mengandung 67 ppb aflatoksin B1 dan 120 ppb aflatoksin G1. Hasil pengamatan sebelumnya memperlihatkan bahwa kacang tanah yang masih ditangan pedagang besar dan sub distributor pada umumnya belum tercemar aflatoksin, sedangkan yang sudah ditangan pengencer di pasar sekitar 20% tercemar pada tingkat yang membahayakan kesehatan (7,0 – 2000 ppb B1).
Pada umunya kedelai, kacang hijau dan hasil olahannya tidak tercemar aflatoksin. Resisten kacang kedelai terhadap aflatoksin ini diduga karena kandungan fitat yang tinggi sehingga Zn unsur esensial untuk membantu biosintesis aflatoksin tidak tersedia karena terikat oleh fitat sehingga meskipun Aspergillus flavus dapat tumbuh pada kacang kedelai tetapi biosintesis aflatoksin sangat terlambat. Walaupun demikian dari hasil pengumpulan contoh kacang kedelai di Thailand sekitar 3% mengandung aflatoksin B1 lebih dari 100 ppb. Uganda kadar aflatoksin B1 pada kacang kedelai juga relatif tinggi dibandingkan dengan Negara-negara lain. Sekitar 23% dari contoh kedelai yang dianalisis ternyata mengandung aflatoksin B1 hingga 500 ppb.
Menurut Rachmawati (2005), hasil uji banding antar laboratorium dan hasil penelitian kerjasama dengan Pengujian Mutu Pakan Ternak (BPMPT), Direktorat Jenderal Peternakan(tahun 2003-2004) juga menunjukkan bahwa 14% pakan ayam dari jumlah 207 sampel pakan yang dianalisis mengandung aflatoksin melebihi standar mutu berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI). Sampel tersebut dikumpulkan dari beberapa sumber termasuk pabrik pakan, penjual pakan ternak, dan sampel-sampel pakan yang datang ke BPMPT, yang berasal dari beberapa propinsi di Indonesia.

2.1.2. Persyaratan Kadar Aflatoksin
Peraturan untuk mutu pakan yang berkaitan dengan batas maksimum aflatoksin yang masih aman untuk dikonsumsi ternak tertuang dalam revisi SNI, PTM pakan konsentrat non ruminansia dan ruminansia serta SK Dirjen Peternakan Nomor 524/TN .250/Kpts/ DJP/ Deptan/1997, seperti disajikan pada Tabel 1, 2 dan 3.



Tabel 1. Kadar aflatoksin (AFL) dalam persyaratan mutu bahan pakan
Bahan baku pakan
AFL, maks (ppb)
Canola meal
100
Repeseed meal
100
Sunflower seed meal
90
Cotton seed meal
100
Sesame seed meal
200
Jagung
50
Hasil ikutan,CGM 60
50
CGM 40
50
CGF
50
Homini
50
CGM = Corn Gluten Meal : CGF = Corn Gluten Feed
Sumber: lampiran 1 dan 2 SK Dirjen Peternakan No. 524/
               TN.250/Kpts/DJP/Deptan/1997, dalam Suparto(2004)


Tabel 2. Kadar maksimum aflatoksin (AFL) dalam
  persyaratan pakan non ruminansia (revisi SNI)
No.
Jenis pakan
AFL ppb
Kode SNI
A
Ayam ras petelur



Anak (starter)
50
01-3927-1995

Dara (grower)
50
01-3928-1995

Petelur (layer)
50
01-3929-1995
B
Ayam pedaging



Broiler starter
50
01-3930-1995

Broiler finisher
50
01-3931-1995
C
Puyuh petelur



Anak (starter)
40
01-3905-1995

Dara (grower)
40
01-3906-1995

Petelur (layer)
40
01-3907-1995
D
Itik petelur



Anak (starter)
20
01-3908-1995

Dara (grower)
20
01-3909-1995

Petelur (layer)
20
01-3910-1995
E
Babi



Anak prasapih
50
01-3911-1995

Anak sapih, Starter
50
01-3912-1995

Pembesaran, Grower
50
01-3913-1995

Finisher
50
01-3914-1995

Induk bunting
50
01-3915-1995

Induk menyusui
50


Pejantan
50
01-3916-1995
    Sumber: revisi standar nasional Indonesia, SNI, dalam Suparto (2004



Tabel 3. Kadar aflatoksin (AFL) dalam Persyaratan Teknis Minimal (PTM)
  pakan konsentrat non ruminansia dan ruminansia
Jenis pakan
AFL maks (ppb)
Non Ruminansia

    Konsentrat broiler
50
    Konsentrat layer grower
50
    Konsentrat layer
50
    Konsentrat babi grower
50
    Konsentrat babi finisher
50
    Konsentrat babi induk
50
    Konsentrat itik
50
    Konsentrat ayam buras
50
    Pakan ayam buras
50
    Pakan burung berkicau
50
Konsentrat Ruminansia

    Sapi perah laktasi
200
    Sapi perah laktasi produksi
200
    Sapi perah kering bunting
200
    Pengganti air susu
100
    Pemula, colf starter
100
    Sapi dara
200
    Sapi pejantan
200
    Sapi potong penggemukan
200
    Sapi potong induk
200
Sumber : Suparto,2004

2.2. Zearolenon
Zearalenon adalah toksin estrogenik yang dihasilkan oleh kapang Fusarium graminearum, F.tricinctumdan F. moniliformeKapang ini tumbuh pada suhu optimum 20 – 250C dan kelembaban 40 – 60 %. 
Gambar 5 Struktur kimia zearalenon
Jenis ini menyerang padi-padian dan cenderung tumbuh terutama selama musim panen, dan musim dingin. Zearalenon stabil terhadap panas dan ditemukan pada hampir setiap produk pertanian dan berbagai padi-padian, jagung dan produk jagung, gandum, bir jagung, tepung terigu, kenari dan roti dan dalam pakan ternak.
 
Gambar 6. Fusarium graminearu
Gambar 7. Fusarium Tricinctum

Gambar 8. fusarium moniliforme

 Zearalenon secara alami membentuk estrogen yang menyebabkan efek hormonal pada hewan ternak terutama babi. Pengaruh zearalenon paling penting terhadap sistem reproduksi. Di Selandia Baru, zearalenon merupakan penyebab infertilitas pada kambing walaupun toksisitas akutnya rendah. Kemampuan zearalenon menimbulkan hiperestrogenisme, terutama pada babi telah diketahui selama bertahun-tahun. Zearalenon pertama kali diisolasi pada tahun 1962. Mikotoksin ini cukup stabil dan tahan terhadap suhu tinggi. Hingga saat ini paling sedikit terdapat 6 macam turunan zearalenon, diantaranya α-zearalenol yang memiliki aktivitas estrogenik 3 kali lipat daripada senyawa induknya. Senyawa turunan lainnya adalah 6,8-dihidroksizearalenon, 8-hidroksizearalenon, 3-hidroksizearalenon, 7-dehidrozearalenon, dan 5-formilzearalenon. Komoditas yang banyak tercemar zearalenon adalah jagung, gandum, kacang kedelai, beras dan serelia lainnya.

2.2.1 Penyakit yang Disebabkan oleh Zearolenon
Kelompok mikotoksin zearolenon dihasilkan oleh fungi fusarium graminearum dan fusarium roseum. Kedua fungi tersebut merupakan sumber zearolenon (F-2), yang tergolong mikotoksin yang mempunyai aktivitas estrogenik. Pada kondisi lapangan, hanya zearolenon dan zearolenol yang banyak dilaporkan. Zearolenol mempunyai aktivitas estrogenik yang lebih tinggi (3-4 x) dibandingkan dengan zearolenon. Mikotoksin tersebut dapat ditemukan pada jagung, sorghum, gandum, juwawut, oat, milo, rye dan berbagai jenis biji-bijian lainnya. Keracunan zearolenon merupakan masalah yang penting pada babi sehubungan dengan masalah reproduksi. Mikotoksin tersebut bersifat relative tidak toksik untuk ayam, walaupun bahan tersebut mempunyai potensi untuk menimbulkan efek tertentu dan dapat merupakan suatu indikator yang baik tentang adanya pencemaran yang simultan dengan mikotoksin yang lain.
            Ayam bibit pedaging yang kontak dengan zearolenon sebesar 0,5-5,0 ppm dapat mengalami penurunan produksi telur (puncak produksi tidak tercapai), walaupun fertilitas, daya tetas telur, dan kualitas anak ayam tidak mengalami perubahan. Induk ayam yang mengalami mikotoksikosis akan mempunyai kadar progesterone serum yang rendah dan asites akibat pembentukan kista pada oviduk.
            Ayam ayam petelur yang mengalami keracunan zearolenon akan menunjukkan peningkatan berat bursa fabricius (pengaruh hormonal yang menimbulkan endema lokal) dan pembentukan kista pada permukaan peritoneum dan di dalam oviduk. Ayam petelur yang keracunan zearolenon akan menunjukkan penurunan berat jenis telur, ketebalan kerabang, dan kualitas yolk dan albumin.
            Ayam pedaging bersifat sangat toleran terhadap zearolenon. Akibat yang terlihat penurunan berat jengger dan testes, pembesaran oviduk, dan leukopenia.
            Didalam tubuh ayam zearolenon didistribusikan terutama ke dalam  hati dan kandung empedu, kemudian diekskresikan melalui feses sebagai zearolenon dan alfa dan beta zearolenol. Pada ayam petelur zearolenon diekskresikan secara cepat melalui feses, walaupun residu bahan tersebut tetap juga ditemukan di dalam yolk (kuning telur).

2.2.2 Aktivitas Biologi Zearolenon
1 . Efek Estrogenik Pada Ternak.
Gejala estrogenisme terjadi pada babi, ayam dan kalkun. Pada babi terutama digejalai oleh adanya pembengkakan vulva, rahim dan kelenjar susu serta putingnya, prolapsus vagina dan atropi ovarium. Pada babi bunting, berakibat lahir mati, atau mati muda atau beranak sedikit sedangkan pada babi jantan muda berefek kebetina-betinaan (feminizing effect) dengan gejala buah zakar beratropi dan kelenjer susu membengkak. Pada ayam petelur menurunkan mutu kulit kerabangnya dan pada kalkun berakibat pembengkakan dubur sampai prolapsus kloaka.

2.2.3 Aktivitas Biologik Lainnya
a. Efek anabolik, atau growth promoter pada ternak tertentu
Anak-anak domba akan meningkat beratbadan hariannya sebesar 40% dari pertambahan berat badan kontrol, apabila zearalenon diberikan pada ransumnya, atau disuntikkan secara sub-kutan, dalam jangka waktu 28 hari,  konversi makanan rata-rata persatuan berat badan menjadi turun yang berarti adanya efisiensi dalam penggunaan ransum. Berbagai derivate zearolenon antara lain zearolenol telah digunakan sebagai bahan feed additive atau implantasi subkutan di telinga domba, sapi dan babi. 
b. Efek Menginduksi Stadium Seksual Mikroorganisme
Dengan konsentrasi rendah, zearalenon mampu bertindak sebagai hormon perangsang  pertumbuhan seksual, dalam hal ini perkembangan peritesium (tubuh-buah) dari cendawan penghasil toksin tersebut, yakni fusarium graminearum, sedangkan dengan konsentrasi tinggi justru menghambat. Sifat-sifat ini berlaku pula bagi cendawan homotalik lainnya (anggota dari kelas Ascomycetes dan Phycomycetes).
c. Efek Mereduksi Kapasitas Reproduksi Serangga
            Kapasitas reproduksi berbagai jenis serangga, khususnya yang menjadi hama komoditi pertanian, seperti kutu dan ulat. Tepung beras dan biji-bijian serelia lainnya mampu direduksi oleh zearolenon ini. Peristiwa ini merupakan komponen penting dalam program pengendalian hama tersebut. Meskipun zearolenon itu sendiri pada konsentrasi sampai dengan 1000 ppm belum berpengaruh apa-apa, namun komponen lain dari produk Fusarium tersebut mampu menurunkan daya tetas telur, metamorphosis dan pertumbuhan populasi serangga.

2.3. Teknik Deteksi Senyawa Aflatoksin
Teknik deteksi aflatoksin berdasarkan AOAC (1984) adalah menggunakan kromatografi lapis tipis (Thin Layer Chromatography- TLC) atau kromatografi cair kinerja tinggi (High Performance Liquid Chromatography-HPLC). Metode ELISA sudah mulai dipakai untuk analisis kuantitatif, dan diakui dapat digunakan sebagai metode skrming yang cepat dan sensitif serta sudah banyak dikembangkan dan digunakan. Dibandingkan dengan metoda kimia fisika (kromatografi), metoda ELISA mempunyai beberapa keuntungan karena dinilai cukup cepat, sensitif dan relatif murah. Sementara itu, metoda kimia fisika mempunyai kelemahan selain harga instrumen yang mahal, diperlukan pelaksana yang betul-betul terlatih, dan tahap analisis yang cukup panjang melalui tahapan ekstraksi, pemurnian, pemisahan, dan memerlukan pereaksi cukup banyak, sehingga biaya analisis menjadi mahal.
Metode ELISA dengan monoklonal dan poliklonal antibodi sudah diterapkan untuk analisis AFB I pada kacang tanah (Kawamura et al., 1988), total aflatoksin pada sampel jagung dan pakan ternak (Trucksess et al., 1989) dan sampel-sampel biologi seperti twin manusia dan hewan ternak (Stubble et al., 1991). Limit deteksi untuk analisis metode ELISA dapat membaca sampai konsentrasi 0,1 ppb.
Format ELISA yang umum dikembangkan untuk senyawa dengan bobot molekul rendah (hapten) adalah ELISA kompetitif. Pada dasarnya terdiri dari 2 format yaitu kompetitif langsung dan kompetitif tidak langsung (Stanker dan Beier, 1995). Teknik deteksi senyawa racun aflatoksin yang dikembangkan Balitvet adalah secara format ELISA kompetitif  langsung. Pengembangan ELISA format kompetitif langsung menggunakan antibodi poliklonal dan konjugat enzim yang dibuat Balitvet ini ternyata cukup sensitif dan lebih spesifik terhadap senyawa racun AFB1, dengan reaksi silang yang rendah terhadap jenis AFB2, AFGI dan AFG2. Pengembangan teknik deteksi tersebut meliputi beberapa tahapan sebagai berikut (Rachmawati et al., 2004):
1) Sintesa hapten
2) Imunisasi kelinci, untuk produksi antibodi
3) Pengembangan format ELISA
4) Pengujian performan tes ELISA
5) Perakitan prototipe ELISA kit, pelatihan dan uji coba lapang

1. Sintesa Hapten
Hapten adalah senyawa dengan bobot molekul rendah biasanya Iebih kecil dari 10.000.  Antibiotik, pestisida, mikotoksin termasuk senyawa ini dan umumnya tidak dapat merangsang terbentuknya antibodi pada ternak,  karena tidak bersifat imunogenik, atau sifat imunogeniknya lemah. Berbeda dengan senyawa dengan berat molekul besar seperti polisakarida, protein, asam nukleat dan mikroorganisme,  yang masuk tubuh sebagai antigen dan bersifat imunogenik, dapat merangsang terbentuknya antibodi, sehingga dapat diproduksi antibodi spesifik. Hapten sebagai antigen, dan supaya terbentuk antibodi pada tubuh ternak jika disuntikkan maka senyawa hapten tersebut harus dikonjugasi secara kimiawi dengan senyawa bermolekul besar seperti protein (Bovine Serum Albumin-BSA atau Keyhole Limphet Haemocyanin-KLH, dll) sehingga bersifat imunogenik dan dapat merangsang respon kekebalan pada ternak. Untuk keperluan kompetitor pada ELISA kompetitif langsung (direct competitive ELISA), hapten ini dikonjugasi dengan enzim (Horse Raddish Perox idase-HRPO). Aflatoksin B merupakan senyawa hapten dengan ikatan cincin yang tertutup, sehingga tidak reaktif. Untuk dapat mengikat protein atau enzim perlu disintesa menjadi senyawa aflatoksin B, carboxymetil oxime, dan ester aktif hydroxysuccinamida. Hasil konjugasi berupa AFBI - BSA dan/atau AFB1-KLH diimunisasikan pada kelinci. Sedangkan hasil berupa AFB1-HRPO digunakan sebagai kompetitor pada penetapan ELISA kompetitif langsung.
2. Imunisasi Kelinci
Imunisasi dilakukan dengan menyuntikkan antigen AFB1 - BSA dan AFB1-KLH masing-masing terhadap dua kelinci untuk mendapatkan antibodi yang akan digunakan untuk pengembangan metode ELISA. Jadwal imunisasi kelinci adalah sebagai berikut :
a) Penyuntikkan pertama sebanyak 0,5 mg/ml AFB1- BSA atau AFB1-KLH yang diemulsikan dalam freund's complete adjuvant.
b) Penyuntikan kedua dan ketiga adalah penyuntikan boster dengan interval waktu 2 minggu yaitu sebanyak masing-masing 0,25 mg/ml yang diemulsikan dalam 250 µl incomplete adjuvant.
c) Penyuntikan boster selanjutnya diberikan setiap bulan dengan dosis 0,25 mg/ml antigen AFB1-BSA atau AFB1-KLH yang diemulsikan dalam incomplete adjuvant.
Selanjutnya darah dikumpulkan setiap bulan, 10 hari setelah penyuntikan boster, dipisahkan serumnya dan dilakukan pemurnian serum dengan menggunakan kolom Protein A Sepharose, dan inilah antibodi AFB1-BSA atau antibodi AFB1-KLH murni yang digunakan untuk pengujian ELISA. Kadar Imunoglobulin G (IgG) yang terkandung dalam antibodi selanjutnya dihitung dengan mengukur absorbansi larutan antibodi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 280 nm. Antibodi dengan kadar IgG dalam kisaran 2,2-4,0 mg/ml untuk penyimpanan waktu yang lama perlu ditambahkan natrium azide dan disimpan beku.
Pengujian respon antibodi pada plat ELISA dilakukan dengan mentitrasi antibodi dan konjugat enzim. Antibodi yang dikumpulkan pada perdarahan ke-5 yaitu setelah penyuntikan boster yang ke-6 kali menghasilkan antibodi yang cukup baik dengan respon yang sensiti f dimana nilai absorpsi pada ELISA reader (OD) kontrol mencapai 0,8->l,0.
3. Pengembangan Format ELISA
Setelah dapat diidentifikasi antibodi dengan respon yang cukup sensitif, studi diteruskan dengan pengembangan format ELISA. Format untuk ELISA yang dikembangkan adalah ELISA kompetitif langsung. Dengan menggunakan antibodi AFBZ-BSA yang dikumpulkan pada perdarahan kelima (5BSA) didapatkan bahwa format ELISA kompetitif langsung lebih sensitif dibandingkan dengan format ELISA kompetitif tidak langsuung. Pengembangan analisis yang dilakukan pertama kali masih cukup lama "long assay" dengan waktu inkubasi antibodi, semalam, konjugat 45 menit dan substrat 30 menit, dan pembacaan serapan warna dengan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. Format ELISA kompetitif langsung dipilih untuk studi selanjutnya.
4. Pengujian Performan Tes ELISA
Pengujian spesifita& dilakukan dengan mengevaluasi respon antibodi AFB, terhadap jenis aflatoksin lainnya yaitu AFB2, AFG, dan AFGZ . Antibodi ternyata memberikan respon yang spesifik terhadap AFB Z (100%), tetapi memberikan sedikit reaksi silang dengan jenis aflatoksin lainnya (0,9 : 3,5 dan 1,6%)  untuk masing-masing  AFB2, AFG, dan AFGZ. Perhitungan reaksi silang didasarkan atas konsentrasi pada nilai inhibisi 50% (IC50 ) yaitu titik yang paling tepat pada kurva kalibrasi, dimana didapatkan nilai untuk masing-masing AFB2, AFG, dan AFG2 yaitu 99,3 : 25,1 dan 52,8 ng/mI serta 0,87 ng/ml untuk aflatoksin B 1. Dari nilai IC 50 tersebut selanjutnya dihitung persen reaksi silang yaitu perbandingan nilai IC 50 AFB Z dengan nilai IC 50 masing-masing jenis aflatoksin. Perhitungan limit deteksi ditetapkan pada konsentrasi AFB Z yang memberikan nilai inhibisi 15% (IC15 ) dari 10 penetapan. Pada percobaan ini diperoleh IC 15 yaitu 0,18 ± 0,06 ppb. Maka limit deteksi adalah rata-rata penetapan 10 replikat ± 2 kali standar deviasi yaitu 0,3 ppb. Konsentrasi AFB Z 0,3 ppb adalah yang terendah dapat dideteksi dengan metode ELISA yang dikembangkan, dengan kisaran analisis sampai 30 ppb.
Selanjutnya tes ELISA diuji toleransinya terhadap beberapa pelarut organik seperti metanol, etanol, asetonitril, aseton yang sering digunakan untuk ektraksi AFBZ pada sampel. OD menjadi lebih kecil pada pelarut dengan konsentrasi yang semakin tinggi dan tes ELISA dengan menggunakan antibodi 5 BSA dan konjugat yang dihasilkan hanya toleran terhadap metanol dengan konsentrasi maksimum 60%. Aseton dan asetonitril dapat digunakan sampai maksimum 40%, sedangkan respon terhadap etanol kurang begitu baik. Pengujian ELISA hanya tahan pada pH antara 7,2-9,6. Pada pH 4 pembentukan warna sangat rendah, sedangkan pada pH 3, tidak terbentuk/warna hilang sehingga OD rendah sekali.
Pengujian selanjutnya terhadap matrik sampel. Matrik sampel dapat berpengaruh terhadap sensitifitas, perubahan/penurunan nilai absorban (OD) atau kedua-duanya. Pakan tersusun dari berbagai bahan diantaranya jagung, dedak padi, bungkil kedelai (soybean meal-SBM), gluten (corn gluten meal-CGM), canola meal, tepung ikan (flish meal). Toleransi tes ELISA diuji terhadap larutan bahan pakan tersebut dalam metanol . OD dari kontrol dengan matrik jagung tidak begitu berbeda dibandingkan OD dari kontrol dalam metanol saja, yang menunjukkan bahwa matrik jagung tidak begitu berpengaruh terhadap penetapan secara  ELISA. Terdapat sedikit pengaruh matrik dari tepung ikan, bungkil kedelai dan dedak padi, sedangkan gluten dan canola memberikan efek matrik yang sedikit lebih besar dan ditandai dengan penurunan OD pada kontrol dengan bahan tersebut dibandingkan kontrol dalam metanol. Efek matrik pakan bervariasi, nampaknya pakan yang banyak mengandung bahan seperti gluten dan canola, memberikan pengaruh terhadap penurunan nilai OD. Pengaruh matrik dapat dihilangkan dengan prosedur "clean up" atau dengan menganalisa sampel mengacu pada kalibrasi standar dalam matrik. Cara pengenceran ekstrak sampel sebelum analisa cukup efektif, jika sensitivitas penetapan mencukupi. Penambahan protein atau deterjen pada pelarut dapat dilakukan untuk menghilangkan efek dari matrik, namun cara ini terbatas pada tingkat kecocokan antibodi dan konjugat enzim terhadap pereaksi ini . Pengaruh matrik pakan pada analisis secara ELISA ternyata dapat diatasi dengan cara pengenceran ekstrak sampel
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Aflatoksin adalah suatu mikotoksin yang merupakan  metabolit hasil jamur Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Pakan ternak di Indonesia umumnya mengandung aflatoksin, namun sampel yang mengandung aflatoksin tinggi dan melebihi standar SNI (>50 ppb) relatif sedikit. Batas maksimal aflatoksin pada pakan, pakan konsentrat dan bahan baku pakan termasuk jagung sudah ditetapkan dalam SNI. Metode yang digunakan untuk analisis aflatoksin secara cepat dan akurat yaitu kit ELISA.
Zearalenon adalah mikotoksin estrogenik yang dihasilkan oleh kapang Fusarium graminearum, F.tricinctumdan F. Moniliforme. Zearalenon stabil terhadap panas dan ditemukan pada hampir setiap produk pertanian dan berbagai padi-padian, jagung dan produk jagung, gandum, bir jagung, tepung terigu, kenari dan roti dan dalam pakan ternak. Zearalenon secara alami membentuk estrogen yang menyebabkan efek hormonal pada hewan ternak.
3.2. Saran
            Sebaiknyakita lebih banyak membaca literatur tentang mikotoksin terutama aflatoksin dan zearolenon ini agar wawasan kita menjadi lebih luas.












DAFTAR PUSTAKA

Bahri, S., Ohim dan R. Maryam.  1994.  Residu Aflatoksin Pada Air Susu Sapi dan Hubungannya dengan Keberadaan Aflatoksin B Pada Pakan Sapi.  Dalam kumpulan makalah lengkap kongres nasional perhimpunan mikologi kedoktera manusia dan hewan, Idonesia ke I dan  temu ilmiah, Bogor,21-24 Juli 1994.  Him.  269-275
Bahri, S., Yuningsih,R. Maryam dan P. Zahari.  1994.  Cemaran Aflatoksin Pada Pakan Ayam.  diperiksa di labolatorium toksikologi balitvet tahun 1988-1991.  Penyakit hewan 47: 39-42
Hastiono, Sukardi.  1983.  Zearolenon, Mikotoksin yang Bersifat Estrogenik. Balai Penelitian Penyakit Hewan.  Bogor.  Wartazoa. Volume 1 No.2. Oktober 1983
Rahcmawati, Sri.  2005.  Aflatoksin dalam Pakan Ternak di Indonesia : Persyaratan Kadar dan Pengembangan Teknik Deteksinya.  Balai Penelitian Veteriner.  Bogor.  Wartazoa. Volume 15 No. 1
Rahmawati, S.  2004.  Uji Banding Antar Labolatorium, Pengujian Elisa Kit Aflatoksin.  Laporan Hasil Kegiatan Kerjasama Antar Balai Penelitian Veteriner dengan PT Sinta Prima Feedmill,PT Sierad Tbk, Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak, dan Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional IV.  Him.  2-9
Rahmawati, S.  2004.  Kit ELISA (aflavet) Untuk Deteksi Aflatoksin Pada Produk Pertanian.  Makalah dipresentasikan pada sesi poster fgW Food Conference.  Oktober,2004.  Jakarta.  FgW School of Food Technolog
Rahmawati, S.  2004.  Pengujian Lapang Perengkat ELISA Kit Aflatoksin B, Untuk Monitoring Kualitas Pakan Veteriner dengan Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak.  Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipasif.  Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Dapartemen pertanian.  Him.  14-17
Suparto, D.I.  A.H.  2004.  Situasi Cemaran Mikotoksin Pada Pakan Indonesia dan Perundang-Undanganya.  Seminar Parasitologi dan Teknologi Veteriner. Kerjasama Balai Penelitan Veteriner, Pusat Penelitiaana dan Pengembangan Peternakan dengan Dapartemen for Internasional Development (DOD-UK), Bogor 20-21 April, 2004.  him.  131-142
Widiastuti, R.  2000. Residu Aflatoksin Pada Daging dan Hati Sapi di Pasar Tradisional dan Swalayan di Jawa Barat.  Pros.  Seminar Nasional Peternakan dan  Veteriner.  Bogor,18-19 OKTOBER 1999.  Him.  609-614
Yanuartin, C.  2004.  Permasalahan Kualitas Pakan di Indonesia. Pros,  Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner. Kerjasama  Penelitian Veteriner, Pusat Penelitian Dan Pengemangan Peternakan dengan Dapartemen for Internasional Development(DflD-UK), Bogor 20-21 April, 2004.  him.  127-130

Tidak ada komentar:

Posting Komentar